๐ Dapatkan Transkrip Cepat dan Murah Hanya Rp10rb/rekaman ๐
Transkrip berikut dihasilkan secara otomatis dari aplikasi Transkrip.id. Ubah audio/video menjadi teks secara otomatis hanya Rp10rb dengan durasi tak terbatas. Coba Sekarang!
Selamat pagi, salam jahtera untuk kita semuanya, semoga Bapak-Ibu sehat. Saya menyampaikan terima kasih diundang oleh DWI, saya kira wajah baru, pemurusan baru, eh baru juga sih, wajahnya lama-lama kok ke pemerusannya. Ini tokoh-tokoh, banyak sekali tokoh hidulah saya di sini. Terima kasih atas kesempatannya, saya tidak menyiapkan paparan khusus. Tadi saya berpikir dari rumah kita akan talk show, tapi ada catatan-catatan pertanyaan rahasia. Jadi karena rahasia saya tidak akan bicara, saya diam saja. Bapak-Ibu, ada kira-kira 5 poin yang disampaikan kepada kami, kira-kira kami harus bercerita begitu ya. Banyak teman-teman media ketika bertanya kepada saya, apa visi-visinya, apa programnya dan seterusnya begitu. Itu di kalangan pemilih, apalagi pemilih-pemulih itu tidak terlalu tertarik. Yang tertarik lebih pada gini. Padahal selalu para peneliti, para pemerhatian mengatakan bagaimana demokrasi bisa terjalan secara substantif, tidak prosedural dan kemudian para kandidat itu bisa menyampaikan apa yang menjadi ide, gagasan, melihat kondisi dan solusi, kira-kira. Saya orang yang tidak mengikuti cerita visi, tapi saya mengikuti cerita visi dan cara. Kita berada di pembukaan pemerintah dasar. Saya khawatir kalau setiap pemimpin baru, kemudian punya visi sendiri dan itu berbeda dengan konstitusi pingkok-pingkok itu. Ini saya cerita dulu. Tapi oke karena secara prosedur kadang-kadang itu dibuat, maka saya akan berbicara pada beberapa hal, tentu yang terkait dengan persoalan demokrasi. Saya akan memulai dari cerita 98 saja. Kenapa peristiwa 98 itu penting? Karena itulah yang menjadi cita-cita. Dari seluruh perbaikan yang ada di bangsa dan negara ini. Saya baru pulang dari Papua, dari Merauke, berbincang dengan banyak masyarakat yang ada di sana. Di sana ada sistem yang mengakui lokalitas yang ada. Apa itu knock-on system? Sisi yang lain saya tertarik, pada saat diskusi dengan kelompok masyarakat termasuk anak muda. Pertanyaan saya kemarin salah satu, tapi tidak boleh digenerasi. Ya salah satu teman. Saya ambil secara random, adik kuliah, kita masih pelajar, saya kuliah, Bapak. Adik tahu pasok-pasok kapan? Saya belum tahu, Bapak. Adik tahu besok pemilu itu mau milih siapa saja? Maksudnya institusinya apa? Saya belum tahu, Bapak. Belum ada sosialisasi. Oke, berapa jumlah pasangan cabres? Kami tidak tahu, Bapak. Belum ada sosialisasi. Oke, saya namanya siapa? Kami belum kenal, Bapak. Oke, lengkaplah sudah. Karena saya berbicara dengan tim saya, waktu itu saya sampaikan, maka ada gap informasi. BWI berbegas berarti. Berbegas berarti. Informasi yang gede-gede itu tidak pernah sampai kebawah atau belum sampai kebawah. Siapa yang harus mendirikan. Media kemudian menjadi sesuatu yang paling penting. Tapi media sekarang sudah saya bagi dalam dua kelompok, yang mainstream dan sosial. Yang sosial ini lebih menarik karena aturannya enggak ada. Maka ketika kita bicara etika jurnalistik, di sana tidak ada. Maka orang bebas-bebas-bebasnya, maka video-video potong, boleh dipotong, dan akhir-akhirnya informasi yang ada di masyarakat seluruh dunia. Tugasnya siapa yang akan melakukannya. Kalau saya sebagai salah satu kontestan, dan yang kedua saya punya partai politik, punya relawan, maka tugas inilah yang harus dilakukan. Maka kalau kita bicara demokrasi dan demokratisasi sebagai satu impian kawan-kawan yang waktu itu berjuang, 98, dan kemudian ingin melakukan perubahan. Kan tuntutannya sudah jelas waktu itu. Kami mau ada demokrasi, maka tolong jangan sindir kami bahwa pemilu lima tahun ke depan hasilnya sudah diketahui hari ini. Tolong jangan sindir kami. Dan itu diomongkan oleh seorang pakar internasional kalau gak salah dalam kuliah ini. Itu menyakitkan kita. Itu melecahkan kita. Dan itulah faktanya. Kemarinan tumbang, dan kemudian yang sifatnya serba sentralistik kemudian dituntut. Agar ada otonomi daerah.
Otonomi daerah berjalan.
Di Papua saya lagi-lagi menemukan
waktu saya masih menjadi anggota DPR
dan ketua panja pemekaran.
Pada saat itu kita sudah
menyampaikan bahwa
disenstrategi penataan daerah waktu itu sudah kita siapkan. Papua nanti akan menjadi lima provinsi.
Tapi nanti disiapkan betul hati-hati.
Tapi hari ini langsung
enam.
Dengan berbagai pertimbangan
yang menurut saya bagus. Kondisi di lukis yang ada disana.
Kondisi ekonomi, kondisi politik, dan seterusnya. Saya kira pemerintah sudah mengambil keputusan
bersama DPR. Oke, enam. Bereng. Daerah lain enggak. Affirmative action dilakukan disana.
Tindakan khusus ini.
Pada saat
saya bertemu dengan sebagian masyarakat
yang lain kemudian mengatakan bahwa tapi jalan kami masih rusak pak.
Puskos mas kami enggak ada.
Pendeta Leo kemarin saya ajak bicara
dan dia menyampaikan kepada kami cerita bahwa
kami harus menolong ibu melahirkan. Tiap pendeta. Kami tidak ada fasilitas kesehatan, jalan pun tidak ada, maka ada
potensi ibu melahirkan itu akan mengalami
bahaya. Siapa yang peduli
pada masa depan ibu dan si anak?
Dan itu masa depan anak kita.
Kenapa
saya mulai dari cerita ini? Maka demokrasinya mesti betul-betul pada
substantif, edukatif, dan makin
dewasa.
Maka saya ceritakan.
Otonomi daerah sebagai agenda reformasi
mestinya dijemput oleh daerah itu, oleh wilayah itu, oleh masyarakat yang ada di situ. Dijemput, tidak menunggu.
Kalau dijemput
artinya apa? Kita musti siap. Jika bertanya, pertanyaan saya seperti ini. Mungkin saya masih di GDR itu kalau ada pemekaran dan ada aspirasi masyarakat saya sampaikan begini. Bapak ibu sebutkan tiga alasan kenapa harus mekar. Ah pelayanannya buruk, Pak. Oke besok kita perbaiki, nggak usah mekar ya. Oh nggak mau, Pak? Kan karena buruknya pelayanan. Mungkin karena sistem atau orang. Yang kedua apa? Pak, jalan kami rusak, Pak. Pemerintah yang sekarang yang ada kurang memperhatikan. Oke kalau gitu besok kita perhatikan. Oh ya nggak begitu juga, Pak. Oke. Yang ketiga apa? Yang ketiga, mereka sampaikan biasanya kalau nggak akses kesehatan, akses pendidikan. Semua berkait dengan istilah keperluanan publik. Nggak dapat. Oke kalau begitu itu kita bangunin semua, nggak usah mekar ya. Oh nggak, Pak? Kami tetap mekar. Oke. Kalau seandainya ini mekar, apakah Anda-Anda yakin bahwa daerah pemekaran itu telah kemudian akan mati? Kita perhatikan itu ada evaluasi. Tapi itu agenda reformasi yang dulu dibentuk dan sudah berhasil. Maka kalau pada level atas kami sampaikan dalam diskusinya mesti ada autonomi daerah yang asimetris. Asymmetrical decentralization. Ini mesti dilakukan. Sehingga ya harus ada kelasnya. Sehingga tidak tiba-tiba saja kemudian kita melakukan. Ini kaitan dengan demokrasi, nanti maksudnya pada good governance. Nah ketika kemudian katakan untukan reformasi salah satunya adalah autonomi daerah dan ketika itu diberikan, maka pada saat itu pemerintah yang terbentuk mesti menyiapkan pemerintahan atau tata kelab pemerintahan yang baik, good governance. Nah prakteknya kemudian KKE-nya berkurang atau tanda subuh. Layanannya mudah, murah, cepat atau makin rumit
dan membuat persoalannya.
Kita harus bertanya kepada masyarakat. Evaluasi proses demokrasi inilah yang hari ini Bapak-Ibu, mesti kita nilai bersama. BWI membongkar ini saya senang, karena kesempatan saya untuk bisa bercerita lebih dalam pada soal ini. Dan pada saat itulah kemudian muncul juga anti-KKN. Pasarnya itu yang paling berat sampai hari ini belum terlaksana. Paling berat. Dan tuduhan-tuduhan selalu menempel. Tapi Allah Ta'ala udah ngomong kok dari dulu. Kekuasaan itu memang punya trend korup. Punya kecenderungan untuk korup. Nah disitulah kemudian dengan segala apa yang terjadi, rasa-rasanya kita mesti lebih bijak sekarang melihat kondisi ini. Meskipun ada yang sudah baik, tapi masih ada yang belum. Yang belum ini kita dulu. Itulah semangat yang kemudian civil society sekarang ikut berteriak. Saya senang. Karena kalau berteriaknya tokoh partai politik kayak saya ini, Pak Ketua, kadang-kadang saya juga aneh merasa diri saya. Sekarang orang mau putus sama saya, takut. Oh lain, lain. Kalau ini saya lihat pemberani semua. Nanti mau milih siapa aja saya tahu kok yang disini. Iya lah, pasti. Nah, masyarakat kenapa jadi takut. Sehingga pada saat-saat datang ada ibu-ibu, Pak Ganjar foto, Pak Ganjar foto. Dia ngejar saya. Saya tengok gitu penes dia. Jangan. Saya ingat itu. Nanti kalau penuh aturan, gak apa-apa saya copot dulu Pak. Ini kerjanya di Jogja. Kasian. Wajah saya itu seperti hantu. Jangan-jangan suruh calon ya. Maka pada tingkat itu, Bapak-Ibu, anti-KKN ini paketnya dengan penegakan hukum. Di dalam penegakan hukum ada tiga. Satu, regulasi. Di dalam regulasi ada sistem dan kelembagaan. Yang terakhir, aktor. Aktor inilah yang paling sulit. Saya soan
ke Ibu Mary
Hugen di Depok. Waktu yang terkunda terus
dan saya agak
bahagia. Karena Ibu Mary mengatakan, saya nunggu Pak Ganjar sudah lama. Ditunggu setiap hari. Karena beliau istri kapoli, legend, anti-korupsi, penuh dengan integritas, profesional. Pokoknya saya enggak ada lawan. Dan beliau adalah Bayangkari. Nah yang datang ini anaknya Bayangkari. Cuman beliau istri jenderal, ini anak-istri Legnansabi. Dan kami bisa berbincang. Itu kalau almarhumah Ibu saya atau Bapak saya masih hidup melihat, pasti dia sangat bangga. Seorang anak Legnansabi bisa ngomong sama jenderal, sama keluarganya. Itu kehebatan Ibu saya. Jadi, kami berbincang dengan beliau dan beliau ceritakan sejarah yang sangat panjang bagaimana tidak hanya seorang Hugen sebagai aparat penegak hukum yang hebat itu, tapi juga bagaimana support dari keluarganya.
Wow!
Ibu yang penjual bunga pun begitu di Lantai Kapolri, jangan beli bunga lagi ke tempat saya, tempat istri saya. Wow! Gilaran. Rasanya kalau sekarang, belinya di tempat saya ya. Aktor kemudian menjadi penting. Sistemnya baik, regulasinya sudah baik, lembaganya baik, aktornya meleduh. Aktornya ya tidak sesuai. Suka bengkok-bengkok. Beleng-beleng. Apa? Pak Bintang apa? Beleng-beleng. Beleng-beleng. Tidak bisa. Dan inilah kemudian meritokrasi sistem itu menjadi begitu penting. Ya. Maka, Baibu, ide-ide yang mesti dikeluarkan ini kepada publik, mesti betul-betul bisa mencerminkan bahwa demokrasi kita naik kelas. Makin hari makin mantap. Dan kemudian aktornya bisa menunjukkan. Karena secara sosiologis kita selalu mengikuti contohnya mana. Teladan. Saya cerita seperti ini Bapak-Ibu, kami mencoba praktek bidangnya kurang lebih 10 tahun ketika saya menjaga dalam sebuah pemerintahan yang jauh lebih kecil. Waktu itu saya tanya kepada masyarakat dengan riset kecil. Masyarakat jateng, menurutmu problem yang pertama apa? Yang pertama kalau udah jadi lupa apa? Oh ya itu penyakit umum kok. Biasanya yang lupa apa? Dari mudah ditemui menjadi tidak? Dari janji yang terucap tidak bisa ditagih? Dimana letak kebuntuannya? Kami tidak bisa berkomunikasi. Lalu kami labeli dengan kalimat tidak menipu dengan bahasa Jawa Yang kedua apa? Pak, semua rumit pak, tanpa uang gak jalan. Mau urus apa? Amplopnya tenek. Maka anda giyum kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah itu menjadi sebuah kewajaran. Saya takut. Wajar, biasa, kemudian disenteri budaya. Itu kan bahaya. Bahaya. Budayawan protes. Kita juga protes. Nah pada saat itulah bapak, ibu apakah menurut anda pemerintah ini koruptif? Jawabannya iya. Kalau saya tidak punya akses ke jabat, saya bisa jadi BNS. Kalau saya tidak punya akses pada orang dalam, saya tidak akan mendapatkan pekerjaan. Ini cerita-cerita yang menunjuk. Maka label berikutnya adalah tidak kurusi, boteng kurusi. Maka jadilah boteng kurusi, boteng abusi.
Bagaimana mencoba praktek itu?
Tidak itu pertama saya. Bapak, ibu mulai hari ini tidak ada setoran ya. Bapak, ibu mulai hari ini kalau mau naik jabatan silahkan anda mengikuti das namanya promosi terbuka. Basah keringan ulang jabatan. Proyeknya seperti ini di undang-undang ANS tidak ada dan saya pernah ikut membuat. Jadi saya tidak mengerti setoran bidikan. Sedikit agak mengerti. Lalu kita praktekkan. Dan praktek pertamanya adalah orang nyuak saing. Karena saya dikira bersyandang. Diantrinya. Bapak, anda terkasih dua duit. Yang paling simple adalah minta maaf. Yang kedua, kasihkan duit ini kepada yang berat. Yang berat pertama, kalau ini duit anda adalah keluarga anda. Tapi seandainya ini dari yang lain kembali. Langsung keringatnya keluar segabun-segabun. Oke. Nah setelah itulah kemudian kami baru tahu bahwa itulah kebiasaan.
Maka mencegahnya menggunakan
e-budgeting, e-planning, elektronik dikasih. Sistem pemerintahan berbasis elektronik. Inovasi kemudian kita
kembangkan dan masing-masing dari
dinas saya minta untuk
nabung inovasi. Muncullah dan kemudian
kita bisa membersihkan kurang lebih
sekitar 2.500-an
apa namanya
pelatur yang tumpang tindih.
Dan itu bisa menghemat ya kelas di kampung lah.
2,4 triliun.
Itulah yang kemudian kita berikan kepada
mereka, kepada
ISN kami, tambahan penghasilan. Maka mulai hari ini
kamu saya tambahin penghasilanmu
ya kira-kira naik 500%, kamu gak usah store, tapi tugasmu
hanya 5. Keluar melayani
masyarakat dengan mudah, murah, cepat.
Menggunakan teknologi digital
agar lebih gampang. Yang kedua
harus transparan dan akuntabel karena ini kewajiban. Hanya 5 saja tidak terlalu sulit. Ini yang ada.
Dan kemudian kita dorong
dengan cara
pemerintahnya, akuntabel dan transparan apa? Kita dorong dari publik untuk ngontrol itulah medsos. Maka saya wajibkan ISN
saya untuk menggunakan medsos waktu itu.
Maka dihajar tiap hari sampai
stress. Stress pertama, cara
menggunakannya dia belum bisa. Yang kedua tekanan publik. Dan tekanan publik tanpa dirasa
dia mereform
dirinya.
Layanan yang biasanya sebulan
paling cepat seminggu saya kasih latihan
2x24 jam setelah itu
1x24 jam. Setelah itu
dia bisa jam bahkan beberapa
menit. Improve-nya terjadi. Nah
apa yang kemudian kita lakukan?
Kami bekerja sama dengan
kampus dan ada yang menyumbang
satu platform web based namanya Lapor Group. Kalau saya jadi presiden
jadi Lapor Press besok.
Dan kemudian semua dikontrol dan masyarakat menjadi CCTV sosial. Gak bisa lagi kalian macam-macam. Maka penting
adanya government super apps
yang bisa kita pakai.
Dari situlah kemudian
terakhir kontrolnya
media. Apa itu? Ya kebebasan pers itu. Kalau
dihajar saya sudah terlalu sering.
Dibuji juga pernah itu. Yang perlu
disikapi adalah dari kita jangan baberan.
Karena kita berada pada
posisi itu itu anda itu
wajib. Wajib dikritik, wajib di ini. Jadi jangan baberan.
Yang penting edukasinya tidak boleh fitnah.
Itu aja. Jadi terkait dengan
kebebasan dan kemerdekaan berekspresi silahkan. Bahkan anak-anak sekarang
para
stand-up komedian kemudian sekarang menjadi
ketakutan semua. Mas kalau
saya ngeritik ini terus gimana? Kalau saya
kritik aja. Tapi kalian nanti saya kritik jangan marah ya.
Nah pada saat-saat gantian ngeritik saya, loh
gimana sih? Anda ini pejabat kok ngeritik gitu.
Enggak. Maksud saya biar ada dialektika. Kan kita ini lagi belajar nih. Kita itu belum mapan-mapan banget.
Maka kalau
Anda boleh kenapa saya enggak boleh?
Oh Anda pejabat? Oke. Kalau gitu saya batasi.
Tapi saya boleh dong mengingatkan
begitu. Ini yang terjadi. Nah yang terakhir ini orang bertanya
kira-kira apa quick wind-nya terhadap
media dan sebagainya. Saya tidak tahu. Justru ini yang saya mau dengar dari Bapak-Ibu. Karena inilah aspirasi yang bisa kami tampung. Saya kembalikan. Tangan dulu
teman-teman sekalian. Sudah beri aplaus. Untuk kesempatan pertama
kami minta
Ketua Dewan Pers Ibu Nini
untuk entah bertanya atau apa begitu.
2-3 menit. Silakan Bu. Itu Pak Ilham. Terima kasih Pak Ketua. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waalaikumsalam. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Pak Ganjar. Terima kasih. Jadi bertemu lagi ya Pak. Mendengarkan paparan yang singkat tapi clear soal demokrasi dan good governance dari Bapak, rasanya sudah tidak perlu dipertanyakan soal komitmen mengawal demokrasi pasca Reformasi 98. Baik dari sisi regulasi dan proses penegakan hukumnya nanti. Kalau misalnya Bapak terpilih sebagai presiden. Tapi yang saya concern saat ini justru begini Pak Ganjar. Setahun yang lalu Bapak Presiden Joko Widodo itu mengatakan bahwa pers kita itu sedang tidak
baik-baik saja. Media
kita situasinya tidak sedang baik-baik saja. Saya ingin Pak Ganjar memberikan gambaran refleksi Bapak sebagai gubernur yang sekarang menjadi calon presiden. Sebenarnya situasi pers kita gimana ya Pak?
Lalu
kalau memang tidak baik-baik saja, apa komitmennya? Untuk mengubah menjadi baik-baik saja. Tapi kalau baik-baik saja ya sudah. Kenapa?
Karena
kalau John Locke bilang kan demokrasi itu ditentukan yang tadi Bapak sampaikan. Ada eksekutif, legislatif, yudikatif. Dan kita tahu semua pers adalah pilar keempat demokrasi. Jadi good governance tidak akan bisa jalan tanpa pers. Terima kasih.
Silakan Pak.
Saya sekarang sudah mantap Pak.
Sudah pensiun jadi gubernur, makan tabungan.
Pak Bintang paham.
Bu Nini terima kasih. Pers sedang baik-baik saja tidak? Tidak.
Ada dua hal yang tidak baik dari pers pada hari ini.
Satu bisnisnya.
Bisnisnya sekarang sedang mengalami perubahan.
Disrupsi di pers sekarang terjadi.
Dari yang konvensional menuju digital.
Konvensionalnya
mulai ditinggalkan, digitalnya belum 100%.
Secara bisnis tidak bagus Pak. Ini belum baik-baik Bu. Secara bisnis. Dan banyak yang bangkrut.
Lalu ada yang muncul yang baru.
Nah PWI punya PR.
Yang muncul baru yang online ini bagaimana kita
melakukan kontrol.
Maaf dengan segala hormat.
Banyak sekali yang bagus muncul dan di belakangnya kita cek. Kalau saya ini sebagai pembaca begitu.
Ya jelas bagus lah.
Incredible. Tapi saya menemukan
wartawannya ini ada perangkat desa.
Maaf.
Di kampung Pak.
Saya menemukan dia. Maaf.
Dia kemarin kerja di satu organisasi masyarakat. Tiba-tiba jadi wartawan
dia tulis saja. Motifnya macam-macam.
Saya pernah diingatkan oleh wartawan senior Mas Ganjar
kalau sama pers daerah, jangan begitu Mas. Kami ini sudah tiap hari bicara. Kami mau lapor kepada siapa
kalau ada yang seperti itu.
Tidak mau mengkonfirmasi.
Boleh sih kalau mau bertanya itu dibiasakan
saya Ganjar dari PWI Pusat.
Maksudnya medianya PWI Pusat. Pura-pura begitu.
Saya Ganjar peran knowledge dan bertanya dari media PWI. Clear.
Narasumber akan tahu.
Tapi kalau enggak terus ditembak ini.
Pak terkena dengan seperti itu bagaimana Pak? Nadamu saja.
Buat kami tidak. Eh saya narasumber.
Boleh dong.
Wah saya dimarah.
Lalu saya sampaikan pada wartawan senior itu
Bu. Motif dia saya tahu mau apa.
Ini pahit tapi saya ceritakan loh.
Dan saya sudah tahu pemiliknya siapa. Ternyata pemiliknya PNS. Sangat tidak etis. Pak Ganjar mau balas enggak? Enggak. Tapi saya mau edukasi dia. Apakah saya anti? Saya tidak. Saya tidak anti. Tapi ketika kemudian publik
harus tahu banyak berita dari narasumber mestinya juga ditampilkan
dengan fair. Ada data, ada fata,
dan ada cover both side.
Menurut saya.
Jadi dari sisi bisnis Bu ketika tidak baik-baik saja orang menyampaikan itu.
Hari ini menjelang pemilihan banyak sekali.
Saya tidak berani
mengatakan abal-abal tapi karena dicari ada. Tapi ketika kita lihat
redaksinya, maaf Bapak Ibu, ya tidak begitu. Sedangkan yang kredibel dengan
susah payah menjalankan itu. Susah payah loh menjalankan itu.
Akhirnya ya kita harus melakukan kritik untuk kritik. Nah siapa yang siap dikritik dan siapa tidak siap. Itu berat ternyata. Nah seringkali kami sampaikan kepada mereka, kenapa sih pertanyaanmu selalu ingin yang sangar. Selalu yang kontroversial.
Katanya kalau
good news gak menarik.
Begitu. Jadi disitulah kemudian menurut saya perbaikan-perbaikan itu dan saya melihat hari ini lagi ada
transisi. PWI, masyarakat jurnalistik menjadi begitu penting.
Pemerintah perlu berpartner
untuk membantu. Saya terus terang saja.
Maaf dengan segala hormat saya.
Ketika awal
saya jadi gubernur ya baru orang keluar masuk di rumah
saya ngambilin envelope. Ini tidak sihat. Saya hentikan. Saya diajar 1,5 tahun. Saya pertaruhkan.
Setelah itu saya buka. Bagaimana
caranya agar ini menjadi legal dan kemudian tidak lagi
dengan gaya yang nanti seolah-olah saling
peras atau saling hindar. Apa yang bisa dilakukan?
Ternyata ada. Kerjasama.
Kerjasama. Maka kita punya sama-sama
kalau istilah saya, sama-sama punya
perasaan. Perasaan. Nah dari situlah
selama masa transisi yang belum baik-baik saja inilah kadang-kadang
memang perlu dialog bagaimana
membikin ini jauh lebih
mapan. Kira-kira seperti itu, Bu.
Ya interchangeable, Bu. Dari sini meminta seperti ini
kalau kesini itu maksudnya pemerintah
dari BWI, dari masyarakat
media kepada pemerintah, pemerintah
bisa mengatur.
Aturannya adalah menggunakan
tools-nya apa. Social tools. Social tools
untuk bisa re-engineering-nya apa?
Ya aturan gitu.
Maka aturanlah yang mesti dinamis mengikuti
ketentuan yang seperti sekarang ini.
Baik. Yang kedua, Ketua dan Penasehat ini. Silakan Pak Ilham. Terima kasih Pak Ketua Umum.
Mas Ganjar, selamat siang.
Saya mau support Mas Ganjar.
Yang saya mau support
melakukan kontrol kritis terhadap penguasa yang seenang-enang. Seperti yang
Anda dua minggu ini saya nikmati betul-betul. Saya ulangi lagi ya. Ya saya mau-mau support Mas Ganjar yang dua minggu belakangan ini saya menikmati sangat kritis terhadap
penyimpangan kekuasaan. Kita bicara tentang kemerdekaan PES.
Salah satu syaratnya bukan hanya wartawan yang merdeka, tapi juga sumber yang merdeka.
Dalam konteks
saya, men-support
Mas Ganjar. Maka Mas Ganjar nggak usah khawatir pada ancaman-ancaman bahwa akan mengganggu elektoral Anda sebagai talon presiden. Itu nggak penting.
Karena seperti Anda tadi
sebut, bahwa kebenaran itu sekalipun pahit, itu harus
diutarakan.
Dalam pengalaman
hampir lebih 40 tahun
menjadi wartawan, kasus-kasus yang bisa dibongkar itu, karena
ada
kontribusi dari orang dalam.
Dalam konteks ini saya menganggap
Mas Ganjar tepat membongkar
tepat bersikap kritis
berasal dari dalam.
Dan pasti akurat itu.
Pasti akurat.
Walaupun itu, teruskan Mas Ganjar. Itu nggak usah khawatir Anda ditakut-takutin bahwa, saya juga merasakan baru dua minggu lalu saya melihat Mas Ganjar
memuji-muji Bapak K. Saya lupa Pak K aja ya. Bapak K. Perlu sebut namanya.
Pak Jokowi. Bahkan Pak Ganjar baru-baru masih melekat dalam ingatan dibuatkan desain baju
untuk kampanye. Putih, putih,
garis-garis putih ya. Nggak lurus. Seperti tahanan nasi. Untung nggak dipakai. Untung nggak dipakai. Kenapa ya terjadi belakangan? Memang begitu. Memang kebenaran akan datang pada akhirnya. Pada orang yang merdeka. Jadi jangan tutup pers yang merdeka saja, Mas Ganjar. Sumber juga harus merdeka. Lanjutkan. Kata Ibu Mega, lawan. Saya mau kasih
satu tagline. Soundbite. Ewa ko.
Terima kasih. Ada ewa ko, ada era ko. Silahkan Pak.
Ya ini dukungan aja saya oke. Tapi saya, beliau sahabat saya dan saya masih konsisten. Siapa bilang saya tidak pakai baju
hitam putih.
Sekarang cuma
lebar aja nih.
Terima kasih Pak Ilham.
Selanjutnya. Baik.
Terima kasih Pak Ganjar. Nama saya Iksan. Iya. Belum lama nih ketemu di Menteng, Pak.
Pertanyaan saya
menyangkut ekosistem bisnis media yang terdisrupsi oleh teknologi. Kalau tadi saya mendengarkan dari pernyataan Pak Ganjar, bahwa untuk demokrasi yang substantive, edukatif, dan makin dewasa, ada dua saluran media. Pertama media mainstream dan kemudian yang kedua adalah media sosial. Nah, kalau Pak Ganjar terpilih sebagai presiden, bagaimana peran pers di era Pak Ganjar, mana yang lebih dikedepankan, apakah lebih membela media mainstream atau justru lebih mengedepankan media sosial, seperti yang sudah Bapak lakukan untuk melakukan tekanan terhadap internal. Yang kedua, pengaruh dari aplikasi Google. De facto adalah
mayoritas, apa namanya,
media di daerah terutama itu diuntungkan dengan Google. Adanya draft fair press untuk media sustainability yang agak membatasi Google, itu membuat Google marah. Kalau Pak Ganjar jadi presiden, apakah akan menandatangani media sustainability yang sampai sekarang masih belum ditandatangani karena ada dua perbedaan pendapat ini, yang akan apa namanya,
membuat media lebih teratur,
lebih terkontrol, tapi di daerah justru mungkin akan lebih ter bahasanya, mungkin saya ngambil dari yang sudah disampaikan salah satu ketua asosiasi daerah, lebih terzolimi karena kemudian berita-berita yang heboh, yang
apa namanya, yang
mungkin kurang berkualitas tapi banyak dibaca, itu kan problemnya. Jadi, dua itu Pak. Yang pertama, saya ulangi, kecenderungan Bapak nanti lebih media mainstream atau media Google media sosial akibat dari distorsi teknologi, yang kedua mengenai peran Google. Terima kasih banyak.
Silakan Pak.
Terima kasih Pak Iksan. Ya harus media mainstream dong. Mainstream itu aturannya ada. Dan yang harus duduk, harus bicara di sana itu punya syarat. Media sosial syaratnya akun kok. Justru hari ini PR
besar negara, pemerintah adalah
mengedukasi publik.
Kalau yang belajar ilmu komunikasi, rasanya ini harus menjadi satu pendidikan
baru. Karena teknologi, maka ilmu berubah.
Sekarang orang atas dasar kebebasan berpendapat, kan saya tidak bisa memaki
Pak Iksan karena tidak suka. Nggak boleh dong.
Berekspresi adalah hak asasi.
Tapi memaki bisa menerjang hak asasi orang. Karena ada kewajiban asasi di situ. Nggak boleh.
Maka dengan perkembangan ini ilmu baru
mesti menjelaskan dan mengedukasi kepada publik. Eh nggak boleh. Kalau perlu memotong sebuah apa namanya statement
yang kemudian menjadi sangat kontroversial,
menurut saya harus dikenakan sanksi. Kalau tidak kita tidak
punya etika dan kita menjadi
apa ya, pemberitaan atau jurnalistik rimbaraya. Itu siapa yang kuat dia akan makan. Maka sekarang publik punya hak untuk berekspresi.
Tapi yang perlu dilakukan adalah edukasi
agar rambu-rambunya bisa dilaksanakan. Contoh, untuk
bermain dengan media mainstream,
maka IG
saya sudah melampaui media-media besar.
6 juta, Pak. Statement saya tambah lucu, bisa ditonton banyak jutaan. Saya hanya bicara satu saja dulu. Ketemu anak, saya melihat Taman Anggrek di Jogja, sepi daerahnya. Karena saya suka anak-anak, saya buka pintunya.
Cuma saya tengok aja dia.
Eh, Pak Kanjar. Pak Kanjar. Bukan. Pak Kanjar iya. Bukan.
Siapa? Tukiman.
70 juta yang nonton.
Apa yang mau saya ceritakan?
Ah, Kanjar gimmick banget. Anda salah. Satu edukasi saya adalah
saya ketemu anak,
anak itu anak kita. Sapalah dia, jangan hanya orang tua. Dia ketakutan dalam ekosistemnya kadang-kadang kena buli.
Orang tua butuh perhatian.
Anda saja yang terlalu politik.
Dan akhirnya saya dipanggil ke mana-mana,
Tukiman, Tukiman.
Di Merauke anak SD tiba, Pak Kanjar, Pak Kanjar. Anak SD.
Dan belum punya suara dia. Sayang juga sebenarnya.
Tapi saya mau sampaikan bahwa saya punya perhatian
terhadap anak-anak. Maka ketika kemudian media
menurut bacaan saya
tidak terlalu
intens dengan maunya saya. Intens maunya saya, gak boleh juga ya.
Apa yang menjadi pikiran saya
kalau tidak ada di media itu,
maka apa yang saya lakukan?
Saya memproduksi sendiri, dengan gaya saya sendiri.
Maka ternyata itu mendapatkan respon dari masyarakat. Ya, semacam
citizen journalism lah.
Saya bisa kontrol-kontrol. Nah, dari situ
buat saya mainstream
mesti harus yang utama. Mainstream punya syarat, punya aturan,
punya regulasi kok. Ini sama dengan
industri angkutan.
Industri angkutan itu kasihan.
Mau buat perusahaan apa? Angkutan. Bes? Angkutan desa? Syaratnya minta ambun, Pak.
Tapi Bapak ikut anggota aplikasi,
gak ada syaratnya. Inilah kemudian terjadi pertentangan.
Sama orang main
TikTok
dan orang yang jualan main di TikTok shop.
Kemudian geger, pasar tradisional hilang.
Yang perlu dilakukan adalah adjustment untuk kita atur. Dynamikanya
akan sangat turbulens.
Maka regulasi kemudian mesti kita atur yang
futuristik. Ini agak sulit sih.
Tapi kita mesti punya alih-alih para futuris yang melihat akibat teknologi itu perubahannya seperti apa. Kayak dunia yang hari ini mengalami
goncangan karena AI.
Bagaimana seorang Pak Jokowi
tiba-tiba bisa ngomong bahasa Mandarin, Pak. Jadi satu suara direkam dari Pak Eksan,
sudah ada DNA suaranya dan bisa di-cloning.
Dan jadilah semuanya. Maka ruang fitnah akan makin terbuka. Hati-hati. Suara saya sudah ada, Pak. Seolah-olah saya ngomongnya seperti itu.
Ketika ini dilakukan untuk hal yang positif, oh itu membantu sekali. Apalagi era-era
kampanye begini. Masyarakat suka yang lucu, kita kasih yang
agak lucu dengan AI, tapi
substansinya jangan lucu. Sehingga edukasinya masuk. Pak, kalau saya, saya punya kepentingan itu. Maka seseorang
mengatakan kepada saya, Mas Ganjar, gimmicknya
enggak kurang lucu.
Buat dibuat yang lucu, oh saya enggak mau.
Saya enggak mau. Apa artinya
kemudian kita dulu meminta demokrasi itu bisa berjalan substantis tapi kita tidak pernah mengedukasi sama sekali.
Oh maaf saya akan menggunakan kenderaan saya sendiri. Maka kalau kemudian tadi disampaikan
bagaimana dengan Google,
media lebih teratur. Baik, San. Kita enggak boleh merintih, Pak.
Padahal sekarang Google sama YouTube, Pak.
Karena apa? Kita tidak bisa membuat.
Negara dengan 270 juta, kita tidak bisa memenuhi kebutuhan sendiri.
Saya pinjam istilahnya Punggarno.
Tidak bisa berdikari kita
dalam bidang ekonomi, termasuk ekonomi
digital.
Kalau kemudian kita mau
sedikit proteksi terhadap produk-produk, aplikasi katakan, dan kita gunakan. Sedikit kita paksa. Pak, kita punya market gede kok. Pertanyaannya, kita belum bisa mendesain sejauh itu,
kemudian sudah ada alat yang memudahkan orang bisa masuk ke situ dapat
keuntungan, terus kita jeles. Enggak bisa dong. Maka biarkan
seperti itu berjalan, sambil kemudian kita atur. Tapi kita harus melakukan
sebuah percepatan. Percepatan itu, Pak, tanpa crash program pembangunan SDM, jangan mimpi. Jangan pernah mimpi. Itu menurut saya
yang mesti dilakukan sehingga zalim-zalimi tidak akan
terjadi. In fact, hari ini
kondisi seperti itu, kita mesti merespon seperti apa. Tahapan-tahapannya yang mau kita lakukan untuk perubahan, mesti kita buatkan konsensus,
kesepakatan. Itulah hearing. Itulah kita
memahami. Itulah kepentingan A,
B, C, tiga kelompok
yang mesti disatukan. Interseksi
inilah apa yang disebut sebagai konsensus building. Baru kemudian masuk
regulasi. Tahapannya kira-kira begitu.
Jadi, agak
hati-hati, tapi kita gak boleh lama-lama.
Gitu.
Makasih. Sekarang kita beralih, Pak, ini ke Ketua PWI Aceh. Bang Nasir Nurdin.
Oh, ini Daring?
Iya, Pak.
Oh, oke.
Aceh, halo. Oke, oke.
Diprovokasi
Bang Ilham. Halo, ada hambatan?
Atau?
Sulut. Silahkan, Pak Voke Lontaan, PWI Sulut. Halo. Selamat siang. Ya, langsung saja ya.
Selamat siang.
Selamat siang. Terima kasih kesempatan ini, Pak Sekjem dan Pak Ketua Dewan Pemerintah Sehat. Teristimewa buat Pak Ganjar, ya, yang hadir di kantor PWI Pusat. Saya sangat merasa bangga sekali. Kenapa? Jika Pak Ganjar ditetapkan menjadi calon bersediakan oleh Pak Ketua Dewan Pemerintah Sehat, ya, yang memenangkan kemarin, saya sangat bangga, ya. Ya, sangat bangga sekali. Nah, sebab kenapa? Di seluruh sutara ini
itu
Pak Ketua Dewan Pemerintah Sehat Pak Ketua Dewan Pemerintah Sehat dan PWI Pusat, ya, menguasai semuanya untuk kepala-kepala daerah. Dari 15 keupatan kota, 13-nya kepala daerahnya dari Pak FDB. Dan saya optimis pasti diseluruh pusat benar, ya. Langsung, barangkali apa? Pernyataan atau pertanyaan ini? Ini, maaf. Intro dulu, Pak Ketua Dewan Pemerintah Sehat. Nah, kemungkinan ini, Pak Ganjar sebagai capresnya, ya. Kanal 25 North Center kemarin, 2023, itu sempat terjadi DPO, ya. Ketua Dewan Pemerintah Sehat di Kota Bitu. Kota Bitu berimbas dari peristiwa di jalur gasa. Antara style sama hamas, ya. Bagaimana kira-kira solusi yang dapat Pak Ganjar berikan? Untuk mencegah konfliknya dari imbas tersebut. Konflik masyarakat atau konflik berkaitan dengan agama. Ini perlu, karena ini selagi booming, kan, ceritanya di berbagai media. Baik di daerah maupun di nasional. Tapi, memang sampai sekarang, kondisinya sudah kondusif. Semua sudah tokoh-tokoh agama sudah ada bersama. Nah, ini ke depan, solusinya seperti apa? Sebenarnya, terjadinya di luar, terjadinya di daerah lain. Nah, bagaimana solusinya Pak Ganjar? Terima kasih. Terima kasih, Pak Voke. Silakan, Pak. Pak Voke, terima kasih.
Ada problem dunia, tapi kita sebagai warga dan bangsa Indonesia mesti punya kepentingan nasional,
Pak. Jangan
kita gegeran urusan dunia,
tapi lupa nasionalnya.
Sama ketika anak-anak muda
mengatakan, kenapa kita berkelahi
pada soal itu, sementara
ada yang kelaparan kemarin di Papua.
Maksud saya,
inilah yang kemudian kita mesti, kalau jaman para senior ini sekolah dulu,
yang lebih senior dibanding saja, pelajaran sivik, kan. Sivik. Keluarga negaraan. Sekarang SKN. Saya kira ini
kewajiban yang mesti diberikan kepada anak-anak kita untuk bisa memilah dan memilih.
Selebihnya,
agar tidak terjadi itu apa?
Intelijenya harus bekerja, dong.
Kalau kita tidak bisa
melihat itu, tidak
mengendus indikasi-indikasi itu
untuk mencegah, ya akan terjadi seperti itu. Jadi,
janganlah kemudian, kondisi-kondisi yang ada di luar itu membuat perpecahan
di dalam. Jangan sampai
kemudian komunitas, kelompok yang ada di kita
menjadi proksinya mereka, dibalik.
Karena urusan internasionalnya, suka-tidak suka, mau-tidak mau, mesti
two-stage solution gitu ya. Itu yang mesti dilakukan. Kan PBB juga gak sanggup kok.
Dunia sekarang sudah mengecam semuanya. Maka harus dilaksanakan. Saya komunikasi
juga dengan dubes kita
yang, apa namanya, di banyak negara, dengan
Menlo, umpama kita tanya, atau dubes mereka yang ada di sini.
Urusan internalnya Anda, termasuk partai-partai di Anda, kita hormati. Tapi urusan kemanusiaan yang menjadi concern kami.
Pada titik itu kita mesti berhenti
pada urusan kemanusiaan internasionalnya. Jangan kita menjadi proksinya mereka, Pak. Dan kita di daerah mesti bisa mencegah. Dan saya terima kasih saya mengikuti
jaga persatuan, jangan terpancing. Arena perangnya itu di sana, bukan di kita. Kita mesti
berpikir untuk men-support perdamaian mereka.
Tapi gitu.
Baik. Aceh sudah siap? Baik. Jatim, Jawa Timur? Aceh, silakan Bang Nasir.
Halo? Halo?
Ya. Kita pindah ke Kalimantan Timur? Atau Papua Baradaya? Jatim, Jatim. Oh, Jatim. Silakan, Jatim. Oh, Kaltim. Kalimantan Timur, silakan. Ya, baik. Singkat saja, Pak Gangja, terima kasih atas kemampuan yang diberikan. Kami dari Kalimantan Timur
tentu sangat berkepentingan terhadap
jadinya Ibu Kota Negara, Pak. Nanti ketika Bapak terpilih jadi presiden, persatuan singkat. Apakah ini berlanjut? IKN ini atau bagaimana, Pak? Jatim, Jatim. Awatin nanti, Pak, akan menjadi monumen berbakala. Mungkin itu, Pak, singkat saja. Terima kasih.
Pertanyaan Anda belum selesai, langsung saya jawab. Lanjut.
Jawab. Jadi dijawab, lanjut. Lanjut, ya. IKN, ya. Baik, sekarang Jawa Timur, silakan. Ya. Mohon maaf di mobil, Pak Gangjar. Halo, dengar ya suara saya. Oh, dengar. Bagus sekali.
Wajahnya apa-apa saja bagus.
Suaranya bagus, Pak. Saya penyanyi dangdut. Lagi tasiah ke Mas Edi Rumpongko.
Oh, Mas Edio. Iya, iya. Tadi dikasih tahu, ya. Dari Belosungkowo, ya.
Iya, iya. Mas Gangjar, saya ikuti tadi. Bagus jawabannya. Cuman perlu ada komitmen yang tegas gitu, ya, terhadap penegakan hukum. Kita lihat, sangat kurang sekali sektor hukum ini, terutama kelembagaan yang kita rasakan bersama dan kita ketahui bersama ada sebuah lembaga yang harusnya betul-betul menjadi backbone. Tapi ada dua, bahkan bintang dua itu yang betul-betul jauh api dari panggang. Yang kemudian yang kedua tentang hutang. Saya kira ini hutang walaupun masih ditoleran oleh undang-undang keuangan. Tapi saya kira rasio ini sudah sangat memberatkan sehingga program itu terganggu. Kalau tadi Mas Gangjar bilang akan mengandalkan anggaran, itu tentunya dari hutang. Saya ingin tahu, ingin komitmen apakah mungkin menurunkan rasio hutang, rasio debt terhadap GDP dan caranya seperti apa. Kemudian yang terakhir, yang ketiga saya kira teori tentang reformasi birokrasi itu sudah banyak. Tapi jangan salah, birokrasi kita yang terlalu besar dan di masing-masing daerah pasca otonomi itu punya birokrasi sendiri. Ada 514 birokrasi kabupaten kota, 38 birokrasi provinsi. Saya kira ini tidak mudah menjadi dirijen itu dari pusat bagaimana kemudian semuanya menjadi baik sesuai dengan harapan masyarakat. Sesuai dengan harapan masyarakat ketika masuk ke bilik memilih calon-calon termasuk Anda yang tentu diharapkan bisa mengatasi persoalan-persoalan besar yang ada. Silahkan Pak Gangjar. Terima kasih. Cak Item, terima kasih.
Pertanyaan pertama
soal tadi komitmen
mempernegakan hukum. Saya pernah mendapatkan Capres Pak Mahfud. Cawa Pres, maaf. Cawa Presnya pasangan
saya adalah Pak Mahfud.
Saya senang sekali
karena beliau punya pengalaman yang
cukup lengkap. Keberanianya oke. Bahkan dalam sebuah pemaparan saya sampaikan
Pak Gangjar, apakah Pak Mahfud
akan menjadi Bansherp saja?
Wah semangatnya aja menggelora.
Kalau dia mau bantu Presiden
dan punya spesifikasi
maka pekerjaan soal reformasi hukum akan meringankan saya. Dan itu akan menjadi tugas pokok yang bisa kita berikan kepada beliau malah. Itu Cak Item. Sehingga cerita
komitmen adalah tiga yang saya sampaikan
tadi. Kalau regulasi
sudah baik, sistem kelembagaannya sudah baik, maka memilih aktornya.
Yang terakhir tidak gampang.
Yang terakhir tidak gampang. Semua selalu melihat fit and proper test
tapi hasilnya kadang-kadang mak peleketus. Itu bahasa
Indonesianya apa?
Di hati hasilnya ambiar. Nah itu yang terjadi. Kalau soal komitmen yang bisa diberikan adalah Anda punya track record disitu nggak? Gitu aja. Kalau Anda
tidak punya track record disitu, maka
orang akan menyaksikan. Maka cerita
saya di dalam-dalam reform birokrasi termasuk menegakkan hukum bagaimana
memberantas korupsi itu kita tunjukkan saja. Sepuluh tahun.
Itu boleh
dilihat untuk sebuah pertimbangan. Sehingga para pemilih nantinya
Hai pemilih tanyakan kepada calonmu. Jangan biarkan kamu
menentukan karena hanya
kesukaan pada satu dua subsektor yang kamu tangkap saja.
Tanyakan. Itulah kekritisan
yang kemudian perlu ada dan kenapa kemudian para calon juga diundang kepada lembaga-lembaga antaranya seperti
PWI ini. Kan pengen tahu.
Untuk mengetahui orang kan tidak bisa
pakai telepati. Harus dengan diskusi kan. Harus ngomong kan. Harus bicara, disampaikan. Tunjukkan. Di debat
kemudian orang akan percaya
kira-kira seperti itu. Maka
reformasi birokrasi memang tidak gampang.
Tapi ya, Ca Hitam, ketika
reform itu dibangun maka mesti ada contoh teladan yang diberikan.
Tanpa itu omong kosong. Dan kenapa tadi saya bicara di depan juga
dinas-dinas mesti ada inovasi dan
inovasi mereka mesti diperhatikan. Lalu apa diterapkan. Ceritanya Ca Hitam ketika kepala dinas saya sekolah. Sekolah, kelan, dan sebagainya
selalu harus ada proyek perubahan.
Lalu saya tentukan. Proyek perubahan
yang harus kamu buat adalah yang harus
mereform di tempatmu
berdasarkan keluhan masyarakat.
Dan pengujinya salah satunya adalah gubernur. Saya ingin menunjukkan evident base agar kemudian bisa yakin. Teorinya banyak. Teori banyak. Tapi otonomi banyak. Itu yang
dituntut reformasi. Jangan dibalikkan lagi loh.
Maka kapasitas yang harus didorong. Maka
kemdagri umpama dalam konteks pembinaan setiap kepala daerah terpilih
sekolah dulu. Sekolah dulu. Itu cara yang ada.
Tapi hari ini percayalah.
Pasca Covid itu
driving force yang diberikan oleh pusat itu ditaat itu sama daerah. Anggaran digunakan untuk ini rambu-rambunya ini. Gak ada yang berenerja kok.
Dan itu etik birokrasi juga. Jadi saya
sangat percaya sekali kalau kita bisa
memberikan contoh. Nah berkaitan rasio hutang saya sepakat. Tapi kita jangan bicara hutangnya dong. Kenapa
kita tidak berpikir menaikkan pendapatan?
Pak Ganjar
mau buat ini ada duitnya gak?
Lu duitnya kita cari dong. Duitnya kita cari. Maka orang
menanyakan, Pak Ganjar, yang lain
pertumbuhan ekonominya
lima setengah, enam, bapak kok tujuh. Kalau kita tidak tujuh
kita masuk middle income trap loh ini.
Tapi itu syaratnya berat. Besok itu gak ada yang ringan.
Maka kalau effort kita
biasa-biasa saja, ya kita gini-gini
terus. Maka effort kita
mesti luar biasa. Maka saya katakan income kita salah satu dari mana? Pajak. Pajaknya dipermudah dong.
Dan jangan dikorup. Menjadi pertanyaan diskusi kami adalah, apakah tidak diperlukan lembaga badan pendapatan nasional di Bapak Presiden? Clear? Maka tidak lagi pada level dirjen. Hari ini tampilannya lagi buruk kan? Digitalisasi dilakukan. Dimudahkan.
Tax Amnesty udah dilakukan. Tapi berburunya
masih di kebun binatang. Mancingnya di aquarium. Kasian. Padahal potensinya masih gede. Dua, illegal economy saya sebut. Bisnis illegal kita di laut seperti apa?
Ditambang seperti apa? Ayo kita jujur
aja. Export-import
kita seperti apa? Udah jujur aja deh.
Coba itu dikurangi.
Gak bisa dilangkan lah. Pasti ada yang kotor-kotor
itu. Saya realistis kok. Coba itu diperbaiki.
Berapa income kita bisa kita dapat?
Tiga,
bagaimana dari seluruh kekuatan yang kita miliki ini ada nilai
tambah? Sekali lagi, nilai tambah.
Berapa pendapatan kita dapat? Anda mau jualan apa? Jualan apa Anda?
Hari ini komunitas besar kita katakan sawit.
Anda jual minyak sawit? Minyak goreng?
Atau Anda akan bicara
produk turunan dari sawit
yang punya nilai tambah tinggi untuk farmasi dan kecantikan.
Wow, itu gede. Apakah
kita sudah tidak percaya pada lembaga research? Apakah kita sudah tidak percaya
pada kampus? Coba kalau ini kita kumpulkan
nilai tambahnya
luar biasa. Cuma, ada syarat lagi SDM kita, apakah sudah
mampu? Kalau belum, stagingnya juga ada.
Kita kolaborasi sambil menyiapkan
dengan keras program kita lebih cepat.
Begitu, Ca Item.
Baik, Bapak Ibu sekalian, karena waktunya kita skip pertanyaan dari PW Aceh dan Papua Barat. Sekali lagi kita beri aplaus untuk calon presiden nomor tiga, Bapak Ganjar Peranowo. Terima kasih sudah hadir di acara ini. Saya berharap teman-teman pers sudah menangkap esensi dari apa yang dikerjakan, direncanakan, dan seandainya terpilih nanti sebagai presiden Republik Indonesia. Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ini bukan gratifikasi, Pak. Keluartawan yang
bisanya memberi seperti ini.
Oh enggak, saya sudah bukan pejabat negara kok. Boleh sekarang.
Makasih, makasih.
Baik, Pak. Makasih.
Udah cantik sekali ini.
Saya terima kasih karena
mau lari ke TVRI. Ini biar semua dapat. Kenapa? Oh sini, sini. Oke, oke. Mepet, mepet, mepet. Ibu-ibu yang... Satu, dua, tiga. Oh iya dong. Ya udah bareng aja lah.
Kasian amat sih masa foto aja diskriminasi.
Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga. Cukup. Saya baru menikmati kenapa. Oke. Ini teman-teman juga mau kita akan bisa kantong. Kalau kata Sun Tzu, salah satu cara kita mengerangi dunia. Bang Simbo. Bang Simbo.
Lihat dong, Bang.
Makasih. Oke. Makasih. Jantung.
Jantung.
Jantung. Mas, ini temannya nih. Seketar lihat. Seketar lihat. Sini, sini. Ya, ya, ya. Cepetan. Satu, dua, tiga. Makasih.